Jika ada orang yang bisa
menggantikan aku, gantilah sekarang juga. Rasanya aku sudah tak sanggup
menghadapi takdirku yang seperti ini.” Aku terisak dalam kepedihan setelah enam
jam lalu putra pertamaku berhasil dikeluarkan dari perutku melalui operasi Caesarean.
Betapa tidak, sejak kesadaranku kembali, semua sanak saudara menangis melihat
putra pertamaku. Apakah dia cacat? Tidak, putraku tidak cacat. Apakah dia mati?
Tidak, putraku tidak mati. Dia masih hidup, sehat, dan sempura. Namun semua
menangisi nasibnya yang terlahir ke dunia tanpa tahu bahwa ayahnya telah tiada.
Aku harus menerima
takdirku, dimana aku harus membesarkan putraku seorang diri. Pada usia
kehamilan tujuh bulan, suamiku dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Saat itu aku
berada di titik terendah dalam hidup. Janin dalam kandunganku sudah tidak punya
ayah. Bagaimana kehidupanku selanjutnya benar-benar membuatku terpuruk.
Zaki Galih Ananda, sesuai
pesan dari mendiang suamiku, aku tulis nama itu di secarik kertas agar bidan
tahu siapa nama bayi lucu yang baru saja keluar dari perutku ini. “Syukurlah bunda,
bayi Zaki dalam kondisi stabil, semoga bunda lekas pulih kembali.” Lapor bidan
jaga itu.
Sepanjang malam bayiku
terus menangis, aku pun begitu. Satu sisi hatiku berkata bahwa aku harus kuat,
namun sisi lain mengatakan aku sebaiknya menyerah. “Apakah aku harus mengakhiri
ini sekarang? Aku tidak akan kuat melihat penderitaan putraku dikemudian hari.”
Gumamku dalam hati. “Eaa….eaa….. eaa….” Bayiku terus menangis. Aku lihat dia
dari ranjangku. Aku menitikkan air mata dan menyesali apa yang aku pikirkan
sebelumnya, “Bagaimana aku bisa berniat menelantarkan dia sendiri di dunia ini,
aku harus kuat demi Zaki.” Tekadku.
Beberapa tahun berlalu, “Bunda,
di sekolah Zaki menunjukkan perilaku yang sangat positif, sering membantu
teman, mau berteman dengan siapa pun, dan dia juga selalu berkontribusi aktif dalam
pembelajaran. Hanya terkadang Zaki terlihat minder apabila teman-temannya
bercerita tentang Ayah mereka.” Walikelas Zaki memaparkan kemajuan selama
satahun Zaki sekolah. “Baik bu guru, saya mengerti, terima kasih atas
bimbingannya selama ini, untuk sosok Ayah sebetulnya saya selalu berusaha
hadirkan melalui kakeknya, hanya mungkin tetap berbeda ya bu.” Jawabku. “Kalau
ibu menikah lagi mungkin perkembangan psikologis Zaki akan lebih baik, dan rasa
percaya dirinya akan tumbuh dengan baik.” Saran walikelas Zaki setengah
bercanda. Aku hanya tersenyum lembut tidak menanggapi. Perkataan yang
diungkapkan walikelas Zaki terngiang-ngiang dalam pikiranku. “Apakah benar aku
harus menikah lagi? demi Zaki?” tanyaku dalam hati.
Aku pun menyampaikan
niatku pada ayah dan ibu. Semua mendukung, hanya saja aku pun tidak tahu dengan
siapa aku akan menikah. Kabar ini sampai pada tetanggaku.
“Benar si Ratna mau nikah lagi?”
“Ih dia kan janda, punya anak satu sudah
besar lagi anaknya.”
“Siapa yang mau dengannya?”
“Paling-paling lelaki renta yang mau sama
dia.”
Cibiran mereka terdengar sampai telingaku,
aku masuk ke kamar, menangis tersedu-sedu dan tak ingin Zaki tahu.
Perjuangan seorang ibu
beranak satu tanpa suami mengharuskan aku bisa membiayai hidup putraku sendiri.
Aku pun merantau ke Kota, menjadi pengasuh anak orang kaya. Kerja siang dalam
malam tanpa henti, menjadikan fisikku terlihat lebih tua dari usiaku. Namun aku
harus kuat demi menghidupi Zaki di Kampung.
Empat tahun berlalu,
tahun ini aku pulang dan ingin segera bertemu dengan Zaki yang sekarang sudah
cukup besar. Namun, dia tidak nampak bahagia dengan kepulanganku. Suatu malam
di rumah ibuku, aku mendengar percakapan antara Zaki dengan ibu.
“Ki, kamu jangan gitu
sama Mamamu. Dia sudah bersusah payah mencari uang untukmu di kota.” Jelas ibuku.
“Iya Nek.” Jawab Zaki malas. “Kamu tidak kangen Ibumu?” selidik ibuku. “Aku
sudah lupa rasanya kangen Nek, Ibu terlalu lama jauh dariku. Lagi pula aku
harus terbiasa jauh darinya. Aku harus belajar banyak.” “Maksudmu?” Ibu heran. “Belajar
merelakan Ibu, sama seperti aku merelakan Bapak yang tidak akan pernah aku
jumpai seumur hidupku.” Aku terpukul mendengar perkataan Zaki, “Dia ingin
merelakan aku seperti merelakan Bapaknya? Tapi aku masih ada Nak, aku tidak
meninggalkanmu, aku hanya berusaha memenuhi kebutuhanmu, ini demi kamu Nak.”
Bantinku merintih, tubuhku terkulai di sudut ruangan.
Namaku Ratna Puspita
Anjani, aku menikah di usia 21 tahun dengan lelaki seusia denganku, hanya latar
belakang keluarga kami berbeda. Aku berasal dari keluarga yang kurang
berkecukupan, usaha kedua orang tuaku bangkrut saat aku duduk di sekolah dasar
kelas 5. Kami sekeluarga pindah ke Kampung ibuku, tempat aku dan Zaki tinggal
sekarang. Sedangkan suamiku berasal dari keluarga yang berada.
Tiga bulan menikah
membuat aku sekaligus keluargaku bahagia, kami hidup berkecukupan. Usaha
suamiku bergerak dalam bidang jual beli hasil bumi dari para petani yang dia
kumpulkan kemudian dia kirimkan ke Kota. Ternyata keadaan ekonomi yang semakin
mapan membuat suamiku sedikit berubah. Dia menjadi gampang marah untuk hal-hal
yang aku anggap sederhana.
Aku saat itu mengandung
bayinya yang baru berusia 2 minggu. Bidan menyarankan kami tidak melakukan
hubungan suami istri dulu karena kondisi rahimku yang lemah. Namun suamiku
tidak mau tahu, dia hanya ingin menagih haknya. “Maafkan aku Mas, aku tidak
bisa. Demi anak yang dalam rahimku.”
“Ahhhh… kau ini, berapa kali kau tolak
aku? Perempuan tak tahu malu, keluargamu menumpang hidup dariku, melayaniku
saja kau tak bisa”
“Mas, jangan berkata seperti itu, aku
tidak bermaksud menolakmu, sabar dulu sampai usia kehamilanku tiga atau empat
bulan.” Kataku dalam tangis. “Apa? Itu terlalu lama!” Dia marah dan menghilang
di balik pintu. “Apakah aku berdosa tidak melayani suamiku sendiri dengan baik?
Apa yang harus aku lakukan?” Resahku sendiri.
Tiga hari berlalu, aku
harus melewati malam yang panjang bersama bayi Zaki sendirian, tanpa suamiku.
Sudah tiga hari sejak pertengkaran itu suamiku tidak pulang ke rumah, entah
dimana dia berada, aku sudah coba hubungi telponnya, namun nada pesanlah yang
menjawab telponku.
Sampai suatu hari Haris
adikku satu-satunya, ragu-ragu mendekatiku, “Kak, apa Mas Danu belum pulang tiga
hari ini?” Tanyanya seolah menyembunyikan sesuatu. “Iya Har, dia pergi, dia marah.”
Jawabmu lemas. “Sudah ada kabar Dia dimana Kak?” Wajahnya memerah dan sesaat
kemudian dia menangis dipelukanku, akhirnya dia tidak tahan dan bercerita
padaku bahwa dia memergoki suamiku makan siang dengan begitu mesra bersama
seorang perempuan muda cantik, yang tidak lain adalah kekasihnya.
Adikku Haris, memang
tidak memiliki pekerjaan tetap, bukan dia tidak mau bekerja di kota seperti
kebanyakan pemuda lainnya, hanya tanggungjawabnya merawat ibu dan bapak sebelum
dia menikah seakan menghentikan hasratnya untuk melangkah jauh dari Kampung.
Haris sangat penyayang, dan itulah alasan mengapa Meli tetap ingin jadi
kekasihnya dalam segala kekurangan Haris. Namun kejadian siang itu
menghancurkan hatinya. Rasa sakit sebagai kekasih yang dihianati dan sebagai
seorang adik yang kakaknya terhianati menjadi satu.
Aku terpukul dengan apa
yang disampaikan Haris, aku tidak kuat, aku menangis sejadi-jadinya. Kami
bercerita pada ibu dan bapak. “Dengar Ratna, kamu tidak bisa menggugat cerai
suamimu pada saat mengandung. Kamu harus menunggu sampai dia lahir dulu.”
Diakhir percakapan, Bapak memberi tanggapan. “Sungguh keterlaluan Danu itu.
Berpaling dari istrinya yang jelas-jelas sudah mengandung anak dia. Tidak punya
pikiran dia.” Amarah Ibuku membuncah. “Sudah bu, ingat kondisi jantungmu.”
Haris mencoba menenangkan Ibu. “Pa, aku tidak terima anak kita diperlakukan
seperti itu. Mentang-mentang dia kaya.” Ibu melanjutkan dan menangis. Perbincangan
kami diakhiri dengan duka sakit hati mendalam.
“Mengapa Dia bergitu tega
terhadapku? Tidakkah Dia merasa kasihan padaku? Aku bersumpah apabila Dia
berpaling dariku, lebih baik Dia mati.” Kemarahanku tidak dapat dibendung lagi
hingga keluar kalimat tersebut. Sejak saat itu aku tidak pernah berjumpa lagi
dengan suamiku, sampai di suatu pagi ada tetanggaku berlari menuju rumahku.
“Bu, Pak, Ratna, Haris… “ Dia berteriak.
“Iya pa, kenapa pa?” Bapak menjawab dari
dalam rumah, saat itu aku sedang membantu Ibu di dapur.
“Pa, ini anu, suaminya Ratna, Danu, itu
anu….” Dia berkata tidak jelas.
“Ada apa pa, ayo masuk dulu.” Kata Bapakku
kebingungan.
“Danu pak, mantu bapak.”
“Iya kenapa dengan dia pak?” Bapak semakin
gemas.
“Mantu bapak kecelakaan.”
“Apa????” aku yang mendengar itu langsung
berlari menuju ruang tamu.
“Iya Ratna, dia ketabrak truk pengangkut
pasir tadi malam, kondisinya kritis, sekarang ada di rumah sakit kota.”
Tetanggaku menjelaskan. Serta merta kami sekeluarga bergegas mendatangi rumah
sakit, benar saja kondisinya sangat parah, Danu sudah tak sadarkan diri. Empat
jam lamanya dia berada diruangan ICCU, tak ada satupun yang bisa menemaninya,
batinku tersiksa, aku belum siap ditinggalkan dalam keadaan mengandung anaknya.
“Ada Ibu Ratna disini?” Perawat
memanggilku. “Iya bu, saya sendiri.” Aku bergegas mendekati ibu perawat dalam khawatir
tak berujung.
“Ibu, Bapak Danu sudah siuman, dia ingin
bertemu dengan Ibu.”
“Baik bu, saya segera masuk.”
Saat aku melihat tubuh
Danu terbaring lemas, dengan oksigen di hidungnya, serta luka yang diperban di
sekeliling kepalanya membuat air mataku luruh seketika.
“Mas, apa yang terjadi padamu.” Aku
terisak. Danu terlihat begitu lemas, dia meneteskan air mata. Sayup-sayup ku
dengar dia berkata, “Maaf”.
“Mas, sudah Mas, aku
sudah memaafkan dirimu jauh sebelum kau seperti ini, kamu harus kuat Mas, lihat
ini anakmu, dia sudah tumbuh sempurna, dua bulan lagi dia akan hadir
ditengah-tengah kita. Kamu harus bertahan Mas.” Aku genggam tangannya yang
penuh dengan selang. “Maaf.” Dia terus saja mengucapkan kata itu, Ibu perawat
muncul mengingatkan kesempatan besukku sudah habis.
Dua hari Danu berada di ICCU,
kondisinya semakin lemah. Aku setia menungguinya setiap hari. Sampai suatu
malam, dokter dan beberapa perawat belarian masuk kedalam ruangan ICCU. Aku
penasaran apa yang terjadi, ternyata mereka melakukan tindakan terhadap
suamiku. Dua puluh menit berlalu. Dan seorang Dokter yang sudah terlihat cukup
usia menghampiriku. “Ibu, maafkan kami, kami sudah berusaha seoptimal mungkin,
namun takdir berkata lain.” Mendengar itu aku terkulai lemas, aku menangis tersedu-sedu.
Meski kenyataannya hari
ini aku masih hidup dalam kondisi sehat, Aku selalu terngiang kata terakhir
mendiang suamiku, “maaf” mungkin betul aku harus memaafkan segalanya, memaafkan
hal yang terjadi dengan kondisiku saat ini, memaafkan diriku sendiri dengan ucapan
sumpah serapah tempo dulu sehingga membuat suamiku meninggalkanku dan Zaki
selama-lamanya. Aku harus kuat demi Zaki.
Suatu sore yang cerah, “Bu,
Zaki minta maaf ya.” Gumam Zaki ragu-ragu mendekatiku. “Minta maaf untuk apa
Nak?” Aku mengelus rambutnya. “Tentang sikapku selama ini pada Ibu.” Jawabnya
jujur. “Ibu sudah Lelah bekerja di kota untuk menghidupiku. Nenek bilang
begitu. Aku pikir itu benar juga. Aku malah bersikap masa bodoh pada Ibu kalau
ibu pulang. Maaf ya Bu.”
Haru bahagia sekaligus
bangga bercampur menjadi satu memiliki anak seperti Zaki. Kini aku sadari,
betapa berat rasa kehilangan dan jalan takdirku, namun ada hal baik yang telah
dipersiapkan untukku. Memilikimu anakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar