Selasa, 07 April 2020

Cerpen "Being A Good Mom"


“Pa, apa sebaiknya aku resign saja, demi Keynu?”
“Jangan dulu berpikir kesana Ma, menurutku itu terlalu jauh, aku tahu Mama tidak bisa kalau seharian di rumah menjadi ibu rumah tangga.”
“Tapi pa, untuk kesekian kalinya pengasuh pulang kampung tiba-tiba, sebetulnya apa salah kita, mengapa mereka tidak betah di rumah kita?”
“Sudah Ma, jangan banyak yang dipikirkan, nanti air susu untuk Keynu berkurang.”

Begitulah Darian, seorang suami yang penuh tanggungjawab terhadap keluarganya, paling tidak bisa melihat istrinya Windi menderita karena banyak pikiran. Tiga bulan lalu Windi melahirkan putra pertamanya, William Keynu Pratama. Tidak ada seorang Ibu yang melahirkan tanpa rasa sakit, begitupun dengan Istrinya, Windi. Masih terdengar jelas dalam benak Darian akan rintihan, jeritan, nafas istrinya yang tersengal-sengal ketika melahirnya Keynu. Meski pun tak ada sanak saudara yang menguatkan Dia dan istrinya saat itu, namun Darian tetap menjadi lelaki kuat yang selalu ada di samping Windi.

Hal itu membuat rasa sayangnya terhadap Windi semakin kuat, tak terpisahkan. Rasa sakit yang dialami Windi, dan rasa tegang yang dirasakan Darian ternyata tidak berakhir bergitu saja saat Keynu berhasil dilahirkan. Masa cuti yang akan segera berakhir pun menambah kebingungan pada dua pasangan muda ini. Bagaimana tidak Windi yang pada dasarnya work-holic sangat sulit untuk total menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya beraktivitas di rumah. Ini pun sangat disadari betul oleh suaminya. Untuk itu keluarga dari Darian, telah mempersiapkan baby sitter yang akan mendampingi Windi.

Baby sitter cabutan ternyata menimbulkan percikan masalah lain, kurang dari 3 bulan sudah dua orang yang ingin pulang kampung, tidak betah tinggal di rumah mereka. Padahal Windi sudah sangat menjaga sikapnya ketika berada di rumah, kadang dia berpikir aku majikan atau pembantu, perilakunya terbalik, Windi selalu berusaha bersikap baik, memberikan bonus apabila kerjanya bagus, memberi salary tepat pada waktunya. Kemudian Keynu sangat baik, tidak pernah dia rewel tak jelas seperti kebanyakan bayi baru lahir.
“Pa, aku coba hubungi Ibu mertua ya.” Kata Windi penuh kebingungan.
“Untuk apa?Biar aku saja” Darian menolak.
“Tidak, pah, sebentar.” Windi menjauhi Darian yang berdiri diambang pintu rungan kerjanya.

Windi dan Darian bekerja di perusahaan yang sama, perusahaan bidang property. Tidak ada baby room, tidak ada fasilitas baby sitter disana.
“Baik Bu, Iya Bu, nanti Windi coba bicarakan dengan Darian ya Bu. Terima kasih bu, selamat siang.” Telpon pun Windi tutup sambil mendekati Darian.
“Apa yang Ibu katakan?”
Windi pun gelisah, karena Ibu sudah bingung tak ada lagi saudara yang ingin menjadi baby sitter untuk Bayi Keynu, “Ibu mengijinkan aku resign, jika itu yang terbaik untuk Keynu.”
“Tapi tidak untuk psikologis kamu Ma.” Sergah Darian.
“Aku tahu, tapi kasian Keynu.”
“Aku mengerti, percayakan padaku besok lusa pun akan ada solusi terbaik.”
“Dan solusi terbaik itu adalah resign.” Windi menangis sejadi-jadinya di pundak Darian.

Berbagai sumber bacaan Windi buka di mesin pencarian komputer meja kerjanya, Dia mengumpulkan informasi pekerjaan apa yang bisa dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga di rumah, hal positif apa yang akan didapatkan oleh bayi dan dirinya sendiri apabila dia menjadi ibu rumah tangga. Hal itu dia lakukan semata-mata untuk menyakinkan keputusannya untuk resign dari dunia yang selama ini dia cintai adalah keputusan yang terbaik untuk anaknya, Keynu.

Semakin Windi mencari informasi tersebut, semakin dia mantap mengajukan surat pengunduran dirinya ke pimpinan perusahaan. Huruf demi huruf dia ketik, kata demi kata terurai menjadi sebuah kalimat mantap bahwa sesegara mungkin dia tidak akan hadir di meeting dan project perusahaan selanjutnya. Nafasnya terasa sesak, “sesulit ini kah keluar dari dunia yang selama ini menampung minat dan bakatnya?” Windi menggeleng, terisak lalu menghapus air matanya dan menyelesaikan dokumen surat pengunduran dirinya.

Windi bergegas menuju ruang pimpinan, di depan pintu ruang pimpinan dia berpapasan dengan Darian.
“Ma” bisik Darian.
“Pa, aku mau serahkan dokumen pengajuan resign.”
“Apa? Setidaknya kamu harus mantapkan keputusan dua atau tiga hari dulu Ma,”
“Lantas siapa yang akan menemani bayi kita selama dua atau tiga hari itu.” Sergah Windi sambil melangkah mantap memasuki ruangan. Sejak berpapasan dengan istrinya di depan ruang pimpinan, Darian enggan untuk melanjutkan pekerjaannya, dia menunggu Windi, dan ingin mencari tahu apa tanggapan pimpinan. Lima belas menit berlalu, tiga puluh menit, sampai satu jam barulah Windi keluar dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.

“Ma, bagaimana kata Pak Heru?”
“Aku resign mulai besok, pah.” Darian termenung, begitu pun dengan Windi, tak ada mimik muka yang menandakan dia bahagia dengan keputusan pimpinan yang sebetulnya Windi inginkan dari awal.
Darian kemudian berinisiatif masuk ke ruangan pimpinan. Windi melangkah lesu, dia harus bergegas membereskan peralatan pribadinya, dan ingat baby Keynu menunggu di rumah tetangga yang sengaja dimintai tolong olehnya supaya menjaga bayi barang sehari.

“Hei sayang...” Seru Windi memeluk bayi gantengnya.
“Kangen Mama ya? Keynu sayang, mulai besok Mama akan terus sama kamu, main, makan, dan tidur bareng kamu.” Tangis haru Windi menyeruak. Windi sendiri pun merasa bingung apakah hal itu tangis rindu pada bayi kecilnya, atau perasaan lega, atau bahkan mungkin sebuah penyesalan.

Seminggu menjadi ibu rumah tangga sangat menyulitkan untuk Windi, mendengar tangisan bayinya setiap detik, melakukan kegiatan yang sama setiap hari membuatnya frustasi. Sampai tak sadar dia membentak bayinya yang tak berdosa karena merasa pusing mendengar tangisnyanya terus menerus. Ketika Bayi Keynu, Windi pergi ke toilet dan menangis sejadi-jadinya. Dia betul-betul merasa bersalah telah membentak bayinya yang tak berdosa, dia tahu cara komunikasi bayi hanya dengan tangisan, dia hanya terlalu bodoh mengartikannya. Dia menyesali perbuatannya, Windi meraung-raung dengan kondisinya yang jauh berbeda.

“Ma, kamu baik-baik saja, bagaimana bayi kita?” tanya Darian di suatu sore cemas melihat mata Windi sembab, pucat tak bergairah.
“Aku baik-baik saja Pah, hanya Keynu dari tadi tidak berhenti menangis, baru sekarang dia bisa tidur.” Jawab Windi meyakinkan.

Semua yang terasa berat diawal ternyata mudah saja bagi Windi, hanya perlu penyesuaian saja. Namun berbeda dengan Darian, terasa biasa saja di awal namun semakin lama semakin berat. Layaknya laki-laki biasa lainnya, Darian menginginkan sosok perempuan yang cantik, bersih, wangi, dan energik. Semua ada pada Windi yang dulu, pada saat masih bekerja. Beberapa bulan melihat istrinya Windi selalu mengenakan pakaian daster, tidak menyemprotkan minyak wangi, tidak memoleskan make up khas sedikit mengganggu kenyamanan hatinya, namun dia selalu buang-buang jauh perasaan itu, sampai suatu Darian bertanya ragu-ragu.

“Ma, kalau Papa mau Mama pakai baju kantor seperti dulu boleh?”
“Loh emang kenapa? Tidak suka liat Mama dasteran begini?” Tanya Windi penuh curiga.
“Tidak Ma, hanya Papa ingin lihat Windi yang dulu.”
“Yang dulu? Maksud Papa?”
“Saat Mama masih suka pergi ke kantor bersama Papa.” Kening Windi mengerut menyimpan tanya.
“Ayo Ma, mumpung Keynu sudah tidur.” Darian memberikan kode. Windi tersenyum penuh arti. Windi pun bergegas memakai pakaian kantor berwarna merah dengan rok selutut, lengkap dengan legging dan sepatu highheelnya. Tenggorokan Darian tercekat. Pasangan muda itu pun memulai malam indahnya bersama.

Windi berpikir sejenak, ternyata menjadi ibu yang betul-betul di rumah memberikan kenikmatan yang luar biasa, dulu dia merasa puas jika desain projectnya memenangkan tander, namun sekarang menyaksikan sendiri tumbuh kembang bayinya merupakan kepuasan tersendiri yang tak dapat dibandingkan dengan tender ratusan juta lainnya. Windi mencintai putranya, juga suaminya Darian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERBAGI ARTIKEL

Menjadi pemimpin yang bijak memang tidak mudah, tetapi keinginan untuk berubah bukan hal yang susah. Semoga kami selalu diberikan kemudahan ...