“Pa,
apa sebaiknya aku resign saja, demi Keynu?”
“Jangan
dulu berpikir kesana Ma, menurutku itu terlalu jauh, aku tahu Mama tidak bisa
kalau seharian di rumah menjadi ibu rumah tangga.”
“Tapi
pa, untuk kesekian kalinya pengasuh pulang kampung tiba-tiba, sebetulnya apa
salah kita, mengapa mereka tidak betah di rumah kita?”
“Sudah
Ma, jangan banyak yang dipikirkan, nanti air susu untuk Keynu berkurang.”
Begitulah
Darian, seorang suami yang penuh tanggungjawab terhadap keluarganya, paling
tidak bisa melihat istrinya Windi menderita karena banyak pikiran. Tiga bulan
lalu Windi melahirkan putra pertamanya, William Keynu Pratama. Tidak ada
seorang Ibu yang melahirkan tanpa rasa sakit, begitupun dengan Istrinya, Windi.
Masih terdengar jelas dalam benak Darian akan rintihan, jeritan, nafas istrinya
yang tersengal-sengal ketika melahirnya Keynu. Meski pun tak ada sanak saudara
yang menguatkan Dia dan istrinya saat itu, namun Darian tetap menjadi lelaki
kuat yang selalu ada di samping Windi.
Hal
itu membuat rasa sayangnya terhadap Windi semakin kuat, tak terpisahkan. Rasa
sakit yang dialami Windi, dan rasa tegang yang dirasakan Darian ternyata tidak
berakhir bergitu saja saat Keynu berhasil dilahirkan. Masa cuti yang akan
segera berakhir pun menambah kebingungan pada dua pasangan muda ini. Bagaimana
tidak Windi yang pada dasarnya work-holic sangat sulit untuk total
menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya beraktivitas di rumah. Ini pun sangat
disadari betul oleh suaminya. Untuk itu keluarga dari Darian, telah
mempersiapkan baby sitter yang akan mendampingi Windi.
Baby
sitter cabutan
ternyata menimbulkan percikan masalah lain, kurang dari 3 bulan sudah dua orang
yang ingin pulang kampung, tidak betah tinggal di rumah mereka. Padahal Windi sudah
sangat menjaga sikapnya ketika berada di rumah, kadang dia berpikir aku majikan
atau pembantu, perilakunya terbalik, Windi selalu berusaha bersikap baik,
memberikan bonus apabila kerjanya bagus, memberi salary tepat pada
waktunya. Kemudian Keynu sangat baik, tidak pernah dia rewel tak jelas seperti
kebanyakan bayi baru lahir.
“Pa,
aku coba hubungi Ibu mertua ya.” Kata Windi penuh kebingungan.
“Untuk
apa?Biar aku saja” Darian menolak.
“Tidak,
pah, sebentar.” Windi menjauhi Darian yang berdiri diambang pintu rungan
kerjanya.
Windi
dan Darian bekerja di perusahaan yang sama, perusahaan bidang property. Tidak
ada baby room, tidak ada fasilitas baby sitter disana.
“Baik
Bu, Iya Bu, nanti Windi coba bicarakan dengan Darian ya Bu. Terima kasih bu,
selamat siang.” Telpon pun Windi tutup sambil mendekati Darian.
“Apa
yang Ibu katakan?”
Windi
pun gelisah, karena Ibu sudah bingung tak ada lagi saudara yang ingin menjadi baby
sitter untuk Bayi Keynu, “Ibu mengijinkan aku resign, jika itu yang
terbaik untuk Keynu.”
“Tapi
tidak untuk psikologis kamu Ma.” Sergah Darian.
“Aku
tahu, tapi kasian Keynu.”
“Aku
mengerti, percayakan padaku besok lusa pun akan ada solusi terbaik.”
“Dan
solusi terbaik itu adalah resign.” Windi menangis sejadi-jadinya di pundak
Darian.
Berbagai
sumber bacaan Windi buka di mesin pencarian komputer meja kerjanya, Dia
mengumpulkan informasi pekerjaan apa yang bisa dilakukan oleh seorang ibu rumah
tangga di rumah, hal positif apa yang akan didapatkan oleh bayi dan dirinya
sendiri apabila dia menjadi ibu rumah tangga. Hal itu dia lakukan semata-mata
untuk menyakinkan keputusannya untuk resign dari dunia yang selama ini
dia cintai adalah keputusan yang terbaik untuk anaknya, Keynu.
Semakin
Windi mencari informasi tersebut, semakin dia mantap mengajukan surat
pengunduran dirinya ke pimpinan perusahaan. Huruf demi huruf dia ketik, kata
demi kata terurai menjadi sebuah kalimat mantap bahwa sesegara mungkin dia tidak
akan hadir di meeting dan project perusahaan selanjutnya.
Nafasnya terasa sesak, “sesulit ini kah keluar dari dunia yang selama ini
menampung minat dan bakatnya?” Windi menggeleng, terisak lalu menghapus air
matanya dan menyelesaikan dokumen surat pengunduran dirinya.
Windi
bergegas menuju ruang pimpinan, di depan pintu ruang pimpinan dia berpapasan
dengan Darian.
“Ma”
bisik Darian.
“Pa,
aku mau serahkan dokumen pengajuan resign.”
“Apa?
Setidaknya kamu harus mantapkan keputusan dua atau tiga hari dulu Ma,”
“Lantas
siapa yang akan menemani bayi kita selama dua atau tiga hari itu.” Sergah Windi
sambil melangkah mantap memasuki ruangan. Sejak berpapasan dengan istrinya di
depan ruang pimpinan, Darian enggan untuk melanjutkan pekerjaannya, dia
menunggu Windi, dan ingin mencari tahu apa tanggapan pimpinan. Lima belas menit
berlalu, tiga puluh menit, sampai satu jam barulah Windi keluar dengan ekspresi
yang sulit diterjemahkan.
“Ma,
bagaimana kata Pak Heru?”
“Aku
resign mulai besok, pah.” Darian termenung, begitu pun dengan Windi, tak
ada mimik muka yang menandakan dia bahagia dengan keputusan pimpinan yang
sebetulnya Windi inginkan dari awal.
Darian
kemudian berinisiatif masuk ke ruangan pimpinan. Windi melangkah lesu, dia
harus bergegas membereskan peralatan pribadinya, dan ingat baby Keynu
menunggu di rumah tetangga yang sengaja dimintai tolong olehnya supaya menjaga bayi
barang sehari.
“Hei
sayang...” Seru Windi memeluk bayi gantengnya.
“Kangen
Mama ya? Keynu sayang, mulai besok Mama akan terus sama kamu, main, makan, dan tidur
bareng kamu.” Tangis haru Windi menyeruak. Windi sendiri pun merasa bingung
apakah hal itu tangis rindu pada bayi kecilnya, atau perasaan lega, atau bahkan
mungkin sebuah penyesalan.
Seminggu
menjadi ibu rumah tangga sangat menyulitkan untuk Windi, mendengar tangisan
bayinya setiap detik, melakukan kegiatan yang sama setiap hari membuatnya
frustasi. Sampai tak sadar dia membentak bayinya yang tak berdosa karena merasa
pusing mendengar tangisnyanya terus menerus. Ketika Bayi Keynu, Windi pergi ke
toilet dan menangis sejadi-jadinya. Dia betul-betul merasa bersalah telah
membentak bayinya yang tak berdosa, dia tahu cara komunikasi bayi hanya dengan
tangisan, dia hanya terlalu bodoh mengartikannya. Dia menyesali perbuatannya,
Windi meraung-raung dengan kondisinya yang jauh berbeda.
“Ma,
kamu baik-baik saja, bagaimana bayi kita?” tanya Darian di suatu sore cemas
melihat mata Windi sembab, pucat tak bergairah.
“Aku
baik-baik saja Pah, hanya Keynu dari tadi tidak berhenti menangis, baru
sekarang dia bisa tidur.” Jawab Windi meyakinkan.
Semua
yang terasa berat diawal ternyata mudah saja bagi Windi, hanya perlu penyesuaian
saja. Namun berbeda dengan Darian, terasa biasa saja di awal namun semakin lama
semakin berat. Layaknya laki-laki biasa lainnya, Darian menginginkan sosok
perempuan yang cantik, bersih, wangi, dan energik. Semua ada pada Windi yang
dulu, pada saat masih bekerja. Beberapa bulan melihat istrinya Windi selalu
mengenakan pakaian daster, tidak menyemprotkan minyak wangi, tidak memoleskan make
up khas sedikit mengganggu kenyamanan hatinya, namun dia selalu buang-buang
jauh perasaan itu, sampai suatu Darian bertanya ragu-ragu.
“Ma,
kalau Papa mau Mama pakai baju kantor seperti dulu boleh?”
“Loh
emang kenapa? Tidak suka liat Mama dasteran begini?” Tanya Windi penuh curiga.
“Tidak
Ma, hanya Papa ingin lihat Windi yang dulu.”
“Yang
dulu? Maksud Papa?”
“Saat
Mama masih suka pergi ke kantor bersama Papa.” Kening Windi mengerut menyimpan
tanya.
“Ayo
Ma, mumpung Keynu sudah tidur.” Darian memberikan kode. Windi tersenyum penuh
arti. Windi pun bergegas memakai pakaian kantor berwarna merah dengan rok
selutut, lengkap dengan legging dan sepatu highheelnya. Tenggorokan Darian
tercekat. Pasangan muda itu pun memulai malam indahnya bersama.
Windi
berpikir sejenak, ternyata menjadi ibu yang betul-betul di rumah memberikan
kenikmatan yang luar biasa, dulu dia merasa puas jika desain projectnya
memenangkan tander, namun sekarang menyaksikan sendiri tumbuh kembang bayinya
merupakan kepuasan tersendiri yang tak dapat dibandingkan dengan tender ratusan
juta lainnya. Windi mencintai putranya, juga suaminya Darian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar